Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman. (I Tim 5:8)
Dalam sejarah dunia, kreasi dan inovasi tertinggi dari Allah pencipta, berkat terbesar, anugerah yang terindah adalah keluarga. Sayangnya, keluarga yang pertama yang diciptakan Tuhan dengan kreasi yang sangat khusus dan unik itu, memberontak kepada Tuhan. Tetapi jauh lebih menarik adalah Allah menjadikan keluarga sebagai mitra-Nya untuk menyelamatkan manusia yang memberontak dan berdosa. Lebih dahulu Allah memilih Abraham, kemudian keluarga Yusuf dan Maria untuk melahirkan Juruselamat. Tuhan menetapkan keluarga sebagai saluran berkat, perjanjian yang diberikan Tuhan kepada Abraham, sampai akhirnya pada Yusuf dan Maria.
Di Alkitab kita banyak silsilah. Pada waktu saya sekolah teologia, bagian yang sering saya lompati adalah Silsilah. Tapi setelah saya belajar konseling keluarga, saya baru mengerti manfaat memahami genogram (silsilah keluarga). Di sini ada inti pesan Tuhan, yaitu bahwa dalam sejarah keselamatan, keturunan dan generasi di bawah kita adalah saluran berkat Tuhan. Melalui silsilah, Alkitab bercerita bagaimana Tuhan bekerja dari satu keluarga kepada keluarga yang lain.
Ada satu yang menarik dari pengalaman saya sebagai konselor, yaitu cara iblis menggoda manusia bukan lagi lewat perselingkuhan, jabatan atau harta yang banyak. Iblis melenakan hamba-hamba Tuhan lewat kesibukan. Ketika hamba Tuhan menjadi sibuk di gereja dan pelayanan, tidak ada lagi energi yang tersisa untuk menemani anak, membangun intimasi dengan istri, atau bercerita pada anak-anak. Para ayah yang notabene hamba Tuhan ini pulang ke rumah dengan tenaga tinggal lima persen.
Dalam pekerjaan seorang pendeta memang ada bagian yang tidak ideal. Kebanyakan pendeta dan aktifis gereja sibuk di malam hari. Sedangkan istri dan anak-anaknya justru di rumah pada malam hari. Anak-anak dan kantor libur di hari Sabtu. Sayangnya Sabtu adalah hari paling sibuk bagi aktifis dan pendeta. Dengan skedul yang rumit ini, kapan anak-anak bertemu dan membangun bonding dengan orang tuanya yang adalah pendeta dan aktifis gereja?
Saya pernah menjadi gembala. Aktifitas yang banyak dilakukan oleh para gembala jemaat adalah kesibukan yang tidak direncanakan. Hamba Tuhan menempatkan dirinya “siap sedia dihubungi 24 jam”, mulai dari ulang tahun, pernikahan, orang sakit … semua dikerjakan oleh pendeta. Lantas bagaimana dengan jemaat kecil kita di rumah? Ini pun harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Maka dalam pengalaman saya sebagai seorang terapis, saya melihat ada lima hal yang hilang dalam perjalanan keluarga-keluarga sekarang ini.
Yang pertama, kita menjumpai ada banyak keluarga yang hilang. Menurut catatan Kementerian Agama saja, belum catatan untuk orang Kristen, ada 380.000 kasus perceraian setiap tahun. Itu artinya ada 40 pasangan kehilangan pernikahannya setiap jam. Jadi ketika kita beribadah di gereja selama 2 jam, ada 80 pasangan sedang siap untuk menerima ketukan palu perceraian. Uniknya, menurut catatan pemerintah 70% penuntut atau penggugat cerai adalah kaum perempuan. Para istri sekarang sudah berani menceraikan suaminya. Mungkin karena para istri sudah mulai mandiri secara ekonomi.
Saya mau menyaksikan dinamika keluarga saya. Mengapa tiba-tiba pernikahan saya berada pada titik krisis? Tahun 1991 saya menjadi gembala, merintis sebuah gereja. Awalnya hanya ada 8 orang di gereja itu. Saya merasa kecil hati dan minder melihat kolega saya yang gerejanya sudah besar. Maka saya rajin berkunjung, setiap hari saya bisa mengunjungi lima keluarga. Tanpa terasa, jemaat berkembang 100% setiap tahun. Tiap kali majelis pusat melihat gereja saya berkembang, mereka memberikan apresiasi. Mereka memuji keberhasilan saya sebagai gembala. Saya senang sekali, dan tanpa sadar saya menghabiskan waktu hanya untuk menambah jumlah anggota gereja. Akhirnya saya lebih banyak di gereja daripada di rumah.
Setelah melayani selama 5 tahun, saya sadar pernikahan saya sudah di ujung tanduk. Kami sempat membicarakan perpisahan. Karena konflik makin besar saya memilih untuk berhenti menjadi gembala. Saya putuskan ambil S2. Saya pikir, tak apalah kehilangan karier sebagai gembala daripada saya kehilangan keluarga. Saya baru sadar karena saya kekurangan kasih sayang dan apresiasi pada waktu kecil, di masa dewasa saya mencari penghargaan. Saya membuat gereja itu sebagai panggung untuk mendapatkan apresiasi, penghargaan, dan penerimaan. Sayangnya setelah saya mendapat yang saya cari, saya justru kehilangan hubungan dengan istri. Hubungan batin dengan anak-anak menjadi miskin.
Saya rasa, banyak dari kita menjadi hamba Tuhan tanpa menyadari bahwa kita belum selesai dari masalah-masalah harga diri yang tidak terbangun baik di masa kecil dan remaja kita dulu. Itu terbawa ke dalam pernikahan dan pelayanan kita sekarang. Kita perlu menyadari bahwa sekali rusak, pernikahan itu sulit diperbaiki. Saya baru terima WA dari seorang pasangan yang saya layani selama 10 tahun. Mereka sudah belasan tahun pisah kamar. Setelah 10 tahun saya dampingi, pasangan ini berdamai kembali. Kisah-kisah pendampingan seperti itu perlu 4 tahun, 7 tahun, 10 tahun untuk mendampingi satu pasang saja, secara rutin. Saya rasa mungkin itu sebabnya, tidak banyak orang yang melirik profesi seperti saya. Untuk membantu dan mendampingi satu keluarga sampai pulih, perlu waktu bertahun-tahun. Kalau tidak pulih, pernikahan yang rusak itu akan diwariskan ke anak-cucu. Betapa tragisnya!
Yang kedua, adalah hilangnya peran ayah di rumah. Saya pernah kehilangan anak saya yang paling kecil. Namanya Moze. Dia kehilangan iman dan menyebut diri bukan sebagai Kristen. Anak saya kehilangan imannya karena dia kehilangan ayahnya. Saudara, tahun 2007 saya mendapat panggung baru, bukan lagi gereja, melainkan dunia konseling. Hanya dalam tempo lima tahun saya bisa membangun karier saya di bidang konseling. Saya seringkali diundang menjadi pembicara, kadang saya terbang 130 kali dalam setahun. Tetapi apa akibatnya? Saya kehilangan bonding dengan anak bungsu saya. Waktu saya anak, saya ditelantarkan oleh ayah saya. Pada waktu saya mempunyai anak, secara tidak sadar saya menelantarkan anak secara emosi. Mungkin saya hadir di rumah, tetapi saya tidak hadir secara batin. Ini membuat Moze kehilangan bonding dengan ayahnya sehingga dia memutuskan tidak mau jadi Kristen di masa remajanya.
Dalam proses yang panjang, saya memberi waktu yang lebih banyak kepada Moze. Saya menolak banyak permintaan pelayanan hanya untuk menemani anak kami di Salatiga. Singkat cerita, Tuhan menjamah hatinya tahun 2016 Januari. Moze menerima Kristus dalam sebuah pengalaman pribadi. Hasilnya sekarang Moze melayani bersama-sama dengan kami. Kepercayaan dirinya tumbuh. Dia aktif di gereja. Dari pengalaman ini saya tidak bermaksud menekankan hasil, karena proses jauh lebih penting. Tapi konseling menolong saya memahami betapa pentingnya keluarga dan mengutamakan keluarga.
Yang ketiga adalah komunikasi yang hilang. Dalam pengalaman sebagai konselor, saya melihat keluhan para ibu yang kewalahan menghadapi anak-anaknya. Karena ayah-ayah tidak hadir, anak-anak ditelantarkan. Orang tua makin sibuk. Sekarang anak-anak jemaat kita, bahkan anak-anak kita sendiri, dibesarkan oleh pembantu dan nenek. Waktu kecil saya dibesarkan tiga pembantu. Waktu anak saya yang kedua mulai besar, dia dibesarkan dua pembantu. Tanpa saya sadari, saya mengulang pola asuh orang tua saya. Ini banyak terjadi dalam keluarga jemaat. Oleh karena adanya fasilitas dan ekonomi yang lebih baik, anak-anak tidak lagi diasuh langsung ayah dan ibunya, tetapi oleh pihak ketiga.
Yang keempat adalah komunikasi yang hilang, karena beban tugas dan tuntutan anak-anak yang semakin berat. Selain pelajaran yang berat, kita kehilangan komunikasi dengan anak karena mereka pakai waktu untuk main game, offline maupun online dan gadget. Moze banyak menghabiskan waktunya dengan game online, bisa sampai 4-5 jam sehari. Saya berpikir dia kecanduan. Waktu saya tegur dia jawab, “Nggak, bapak salah. Anak-anak tidak kecanduan. Mereka kehilangan orang tuanya. Kesenangan anak-anak sebenarnya adalah kalau dia bisa berkomunikasi dengan orang tuanya, mempunyai relasi yang baik dengan ayah ibunya. Kalau dia tidak mengalami kenyamanan dengan orang tuanya, dia perlu mencari saluran yang lain. Saluran yang lain yang menyenangkan anak adalah game, chatting.” Di sinilah banyak komunikasi kita yang hilang karena anak-anak mempunyai jalan keluar untuk kehidupannya, lewat game online.
Yang kelima, sejak kecil anak-anak kita terbiasa diberikan gadget supaya kita tidak repot. Akibatnya anak-anak tumbuh dengan perasaan tidak aman, tidak diterima, tidak dianggap, tidak dibimbing dan tidak didengar.
Yang keenam, kesehatan mental yang hilang. Pemerintah memberikan data hampir 30 juta penduduk negeri kita mengidap gangguan jiwa ringan sampai berat. Separuhnya dari gangguan ini adalah penderita depresi, yang sebagian berujung dengan bunuh diri. Saya melihat ini satu ladang yang sangat penting. Wadah yang sangat luas untuk digarap. Saudara bisa bayangkan kalau seorang yang sakit mempunyai 4 anggota keluarga, 2 orang tua, 2 saudara, maka di masyarakat kita ada 120 juta yang terdampak langsung ataupun tidak itu dengan gangguan jiwa.
Di data itu, satu dari lima penduduk kota besar seperti Jabodetabek adalah penderita sakit jiwa. Bisa dibayangkan kalau jika penduduk Jabodetabek berjumlah sekitar 15 juta jiwa, maka 3 jutanya adalah penderita gangguan jiwa. Ini satu ladang misi yang sangat besar, tempat pemberitaan kasih Tuhan yang sangat luas. Di tahun 2002 Tuhan berbicara dalam hati saya untuk menggarap ladang ini. Sayangnya belum banyak sinode yang benar-benar memberi perhatian pada kesehatan mental jemaat. Belum banyak klinik-klinik atau rumah sakit mental, yang digarap oleh gereja-gereja di Indonesia.
Selain kasus berceraian, kami mendampingi banyak klien yang bermaksud bunuh diri. Mengapa saya tertarik mendampingi kasus-kasus gangguan jiwa dan depresi dan bunuh diri? Karena di dalam Alkitab berkata, “Satu jiwa bertobat dan kembali kepada Tuhan, maka seluruh malaikat di sorga bersorak-sorak.”
Ini adalah satu ladang yang perlu perhatian kita bersama. Itu sebabnya saudara-saudara dalam visi LK3, kami mengajak para pemimpin gereja mendirikan pusat-pusat konseling dan kesehatan mental di setiap kota di Indonesia, kami mendoakan tahun 2030. Saya berharap Sinode Gereja Kristus ikut prihatin dengan keadaan Indonesia yang darurat kesehatan mental; dengan 30 juta angka gangguan jiwa dan hanya tersedia beberapa puluh ribu saja tempat tidur di rumah-rumah sakit jiwa. Ini suatu tantangan kita untuk melihat bahwa masyarakat kita, jemaat kita itu membutuhkan pemberdayaan di bidang kesehatan mental, di bidang kesehatan keluarga.
Terakhir, dalam pengalaman saya sebagai konselor, saya melihat begitu banyak orang yang kehilangan tujuan hidup. Paulus mengatakan manusia sudah bertuhankan perut. Itulah yang membuat Paulus sangat tertekan. Pada waktu dia di penjara, dia melihat begitu banyak orang-orang yang mengabarkan Injil untuk mencari keuntungan, melayani Tuhan untuk mencari keuntungan. Paulus tidak hanya melihat orang-orang dunia, tapi dia melihat orang-orang yang percaya, bahkan teman-teman sesama pelayanan. Dia mengatakan, mereka memberitakan Injil bukan karena sungguh-sungguh memberitakan Kristus.
Masyarakat yang tidak mencari “siapa” tetapi mencari “apa” berujung pada kecemasan. Perhatikan Matus 6:33. Kami mendampingi banyak klien yang mengalami kekuatiran, lebih tepatnya : kecemasan. Catatan Rasul Matius ini sudah kita hafalkan dari Sekolah Minggu dulu: “Tetapi Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”
Begitu banyak orang percaya sekarang mengalami penyakit yang disebut anxiety (kecemasan), karena orientasi hidup mereka bukan lagi pada kerajaan Allah, tetapi fasilitas hidup; bukan kepada Pemberi Hidup tetapi kepada fasilitas hidup. Saya ingin mengajak kita membaca Roma 14:17, Dimanakah kerajaan Allah itu? Apakah kerajaan Allah itu? Paulus menggambarkan dengan baik dalam Roma 14 : 17 bahwa “Sebab kerajaan Allah itu bukanlah soal makanan dan minuman.” Yesus juga berkata, “Bukankah hidup hidup itu lebih penting daripada makanan dan minuman, bukankah hidup itu lebih penting daripada pakaian?
Paulus menekankan yang sama, kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. Pertanyaannya, di manakah umat, jemaat kita menikmati damai sejahtera? Di mana warga gereja kita menikmati damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus? Saudara-saudara, saya percaya, itu dialami, itu dinikmati, pertama-tama di rumah. Mazmur 133 menekankan, “Dalam keluarga yang rukunlah berkat Tuhan turun. Di mana dua tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, Aku ada di sana.”
Sekarang saya melihat fenomena, saya berkeliling di banyak kota. Saya melihat, jemaat diarahkan untuk mencari berkat di gereja. Saya kira itu satu kesalahan yang mendasar. Berkat itu ada di rumah. Gereja adalah tempat orang berbagi berkat yang didapatnya di rumah. Gereja bukan tempat mencari berkat Tuhan. Orang yang mencari berkat di gereja memang akan menggebu-gebu aktif melayani di gereja, memberi persembahan di gereja, tapi dia melupakan bahwa pusat berkat, saluran berkat itu adalah di rumah tangga kita masing-masing. Dalam keluarga yang rukun, ada berkat Tuhan. Kita bekerja supaya ada ketenangan, kedamaian, kenyamanan, tetapi kita tidak memelihara berkat besar yang Tuhan sediakan di rumah. Sayang sekali!
Saya menutup bagian ini dengan memberi satu gambaran. Apa yang menyebabkan banyak masalah keluarga terjadi? Dalam pengamatan saya yang terbatas, izinkan saya berbagi. Masalah muncul karena kita tidak lagi menjadikan keluarga sebagai poros dan prioritas. Secara rohani, Kristus adalah pusat iman kita, Kristus adalah pusat ibadah kita. Tetapi secara kegiatan dan aktifitas, keluarga adalah fokus.
Masalah mulai terjadi di antara jemaat kita yang berbisnis, karena bisnis menjadi poros dan keluarga dipinggirkan. Dalam kehidupan para hamba Tuhan, pelayanan dijadikan fokus, keluarga terpinggirkan. Maka sebagai hamba-hamba Tuhan dari Sinode Gereja Kristus, kita harus membawa jemaat benar-benar kembali kepada keluarga. Kalau Martin Luther berteriak, “Back to the Bible!” saya menyerukan kepada kita sekalian, “Kembalilah kepada keluarga kita. Di sanalah kita mendapatkan berkat, damai sejahtera, sukacita dan semua yang Tuhan sediakan. Waktu kita ke gereja, waktu kita melayani, kita membagikan apa yang kita dapat di rumah kepada orang-orang yang ada di dalam gereja. Sekali lagi, masalah terjadi jikalau keluarga digeser dan tidak lagi menjadi pusat. Kalau keluarga menjadi fokus, itu bisa menjadi stabilizer untuk pernikahan kita masing-masing.
Peran Gereja
Saya memberikan beberapa gambaran umum yang terjadi di gereja. Pertama, sebagian keluarga jemaat kita tidak menyadari bahwa keluarganya sakit. Mengapa? Karena konflik itu sudah berlangsung bertahun-tahun sehingga kepekaannya itu sudah hilang. Ini seperti penduduk yang tinggal di pinggir lintasan kereta api. Jika sekali waktu kita terpaksa tidur di rumah dekat pinggir rel, mungkin kita sulit tidur. Tetapi mereka yang rumahnya di sana, sudah terbiasa. Mereka tidak lagi terganggu oleh deru kereta api yang lewat. Mereka bisa tidur nyenyak.
Demikianlah jemaat kita. Mereka tidak menyadari bahwa mereka bermasalah. Jemaat merasa keluarganya oke-oke saja. Sama dengan general check up di laboratorium: tes urin, darah, MRI, dan lain-lain. Dari situ ketahuan sebagian penyakit yang selama ini tidak disadari. Kalau pernikahan diukur dengan alat ukur Kepuasan Pernikahan, bisa ketahuan, apakah mereka benar-benar puas, kurang puas, atau sangat tidak puas.
Kedua, ada juga pernikahan yang nampak sehat tetapi sebenarnya tidak berfungsi. Suami hanya berfungsi sebagai suami buat istri, dia suami yang baik, tapi dia bukan ayah yang baik. Ini disebut sehat, tetapi tidak berfungsi. Ada ibu adalah ibu yang baik buat anak-anaknya, tetapi dia adalah istri yang tidak baik buat suami. Karena itu, assesement untuk kesehatan mental sangat penting bagi kesehatan mental dan pernikahan kita.
Saya mengajak kita memperhatikan Mazmur 112. Teks ini mengajarkan dua faktor penting sebuah kepuasan sebuah pernikahan. Faktor pertama adalah faktor Ilahi, yaitu kita menjadikan Tuhan sebagai pusat iman. Kedua adalah faktor manusiawi. Karena waktu terbatas, saya akan membahas faktor kedua ini dengan singkat. Yaitu untuk membangun pernikahan yang stabil, kuat, dan berfungsi, kita perlu berusaha membuat pernikahan itu sehat dan berfungsi.
Apa yang harus dilakukan oleh Sinode dan para pendeta dalam konteks tema ini, yaitu mempersehat keluarga-keluarga jemaat. Di sini saya sampaikan beberapa hal yang perlu dipikirkan:
Pertama adalah perlu konseling pranikah yang cukup dan komprehensif. Para calon pasutri perlu dibimbing untuk memiliki tujuan pernikahan, norma, dan aturan dalam keluarga; yang sama. Tiga hal ini memiliki potensi konflik yang sama dalam keluarga. Maka lebih baik mencegah daripada mengobati.
Kedua perlu dibangun sistem keluarga yang sehat supaya pernikahan itu tidak rusak. Sebuah sistem keluarga punya beberapa unit di dalamnya: unit suami, unit istri, unit anak-anak. Supaya sistemnya sehat dan berfungsi, sistem itu harus dinomorsatukan. Dengan kata lain, apapun keputusan yang akan diambil, harus memperhatikan keluarga sebagai kesatuan, bukan kepentingan individunya. Ciri dari sistem keluarga yang sehat adalah anggotanya saling bergantung, terbuka dan merindukan.
Secara praktis dalam memikirkan aktifitas dan program gereja, apakah program Gereja-Gereja Kristus adalah yang berbasis pada keluarga; aktifitasnya mempertemukan keluarga, bukan hanya membangun iman tetapi ikatan emosi yang sehat dalam keluarga.
Apakah program itu menyenangkan semua orang dalam keluarga. Bisakah gereja itu mempunyai program yang menyenangkan bagi bapaknya, mamanya, sekaligus anaknya.
Penutup
Kita perlu menyadari bahwa Tuhan mengerjakan bagian-Nya, kita mengerjakan tugas kita. Gereja harus melakukan fungsi-fungsi pastoral dalam mendorong jemaat untuk merawat keluarga mereka baik-baik. I Timotius 5:8 jelas sekali: “orang yang tidak merawat keluarganya adalah murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak beriman”. Maka upaya merawat pernikahan jemaat itu menjadi tema penting Gereja sepanjang sejarah.
Kiranya Tuhan menguatkan Gereja-Nya.
Pdt. Dr. Julianto Simanjuntak
Lembaga Konseling Keluarga Kreatif (LK3)
(Sumber : Berita Sinode Gereja Kristus - Edisi 2017)